Panduan Pengembangan Silabus Pendidikan Agama Budha


PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab IV Pasal 10 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, Pasal 11 Ayat (1) juga menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah menjadi semakin besar. Lahirnya kedua undang-undang tersebut menandai sistem baru dalam penyelenggaraan pendidikan dari sistem yang cenderung sentralistik menjadi lebih desentralistik.

Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan peserta didik, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran..

Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi menurut Peraturan Mendiknas No. 22 tahun 2006 dan Standar Kompentensi Lulusan menurut Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijalaskan :
  • Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 Ayat 6)
  • Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasar­kan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertangung jawab terhadap pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK ( Pasal 17 Ayat 2)
  • Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20)

Berdasarkan ketentuan di atas, daerah atau sekolah memiliki ruang gerak yang seluas- luasnya untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan variasi-variasi penyelengaraan pendidikan sesuai dengan keadaan, potensi, dan kebutuhan daerah, serta kondisi peserta didik. Untuk keperluan diatas, perlu adanya panduan pengembangan silabus untuk setiap mata pelajaran, agar daerah atau sekolah tidak mengalami kesulitan.

  1. Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha
Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik yang khas. Demikian juga halnya dengan PAB.  Adapun karakteristik PAB adalah sebagai berikut:
1.             Pendidikan Agama Buddha merupakan pendidikan untuk menanamkan rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, membangkitkan kesadaran bahwa agama merupakan kebutuhan hidup untuk mencapai kebahagiaan di alam sekarang maupun di alam nanti, serta membantu meningkatkan motivasi untuk berbuat baik dan mendalami ilmu yang sedang dipelajarinya. PAB membangun kesadaran akan persoalan bukan saja hidup sesudah mati tetapi juga apa yang harus diperbuat selama hidup di dunia ini. Kesadaran yang dibangun meningkat mulai dari belajar dharma (pariyatti), mengamalkan dharma (patipatti), dan akhirnya memperoleh hasil dari pelaksanaan dharma (pativeda.) Di samping itu, setiap individu harus dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah dilakukannya, baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan selanjutnya.
2.             PAB  memuat kajian konprehensif akan peran dan fungsi Agama Buddha dalam kehidupan modern yang pluralistik dan turbulent dengan menekankan proses pengembangan  karakter peserta didik yang harus mampu mendorong  peserta didik agar memiliki motivasi, kemandirian, rasa percaya diri, ketekunan, ketabahan, tekad kerja keras, suka pada tantangan, kreatif, energik, dan berinisiatif tinggi berlandaskan Buddhadharma. PAB diarahkan untuk membangun kualitas mental pribadi peserta didik agar memiliki visi yang jelas, wawasan dan pengetahuan yang kontekstual, tujuan hidup yang jelas, komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang tinggi, harga diri, kompetensi, kemampuan hidup secara harmonis dan kreatif dalam masyarakat yang pluralistik, peduli terhadap lingkungan, mengembangkan Empat Kediaman Luhur (brahmavihara), yakni cinta kasih universal (metta), perasaan belas kasih terhadap yang menderita (karuna), perasaan simpati terhadap kebahagiaan orang lain (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha) serta mengembangkan perasaan malu untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat (hiri) dan perasaan takut terhadap akibat melakukan perbuatan jahat (ottapa) yang timbul melalui pikiran, ucapan, dan tindakan jasmani 
3.      Tema-tema esensi dalam PAB bersumber pada keyakinan (saddha), sejarah, Tripitaka (Tipitaka), moralitas (sila), meditasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna)  sehingga peserta didik akan berakhlak mulia atau berbudi pekerti luhur, memahami jati dirinya sebagai manusia sebagai makhluk sosial, tekad kerja keras, mandiri, dan bertanggungjawab yang tercermin dalam pola hidup sehari-hari dalam hubungannya (1) dengan Tuhan dan Triratna; (2) dengan sesama manusia; dan (3) dengan lingkungan hidup sekitar atau hukum kosmis yang mengatur alam semesta (dhammaniyama).
4.      Pemelajaran PAB menggunakan pola pendekatan terpadu, demokratis, humanistis, fungsional, dan kontekstual sesuai dengan dinamika perkembangan  masyarakat modern. Agar PAB lebih fungsional dan bermakna bagi peserta didik maka strategi pembelajaran yang digunakan meliputi lima dimensi pendekatan yaitu:
a.   Pendekatan dengan dimensi Konsekuensial yaitu pola pendekatan pemelajaran yang menekankan pada peran dan fungsi Agama Buddha sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam berperilaku keseharian sesuai Buddhadharma. Peserta didik dilatih dan dibiasakan mempraktekkan dan merasakan manfaat pengamalan ajaran Agama Buddha dalam kehidupan nyata seperti berperilaku    jujur,  santun, tertib, taat waktu, bersih, tekun, sabar, bersemangat, tolong menolong, berdana punia, bajik, damai, tanpa kekerasan, murah hati, mandiri, percaya diri, tekad kerja keras, suka pada tantangan, kreatif, energik, dan berinisiatif tinggi.
b.   Pendekatan dengan dimensi Inferensial yaitu pola pendekatan pemelajaran menyangkut penumbuhan dan pengembangan  intensitas perasaan dan pengalaman religius peserta didik secara sadar dalam upaya meyakini Tuhan, Triratna, dan para Bodhisattva-Mahasattva.
c.   Pendekatan dengan dimensi Ideologis yaitu pendekatan pembelajaran yang terkait dengan tingkat keyakinan peserta didik pada Buddhadharma. Peserta didik dibangun kesadarannya agar menghayati keyakinan (saddha), sejarah, Tripitaka (Tipitaka), moralitas (sila), meditasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).
d.   Pendekatan dengan dimensi Ritualistis yaitu pola pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan peserta didik dalam menjalankan ritual-ritual Agama Buddha. Peserta didik dilatih untuk menjalankan ritual dengan membaca doa-doa agama Buddha (paritta/mantra) setiap hari, setiap minggu di Vihara atau Cetiya, pada hari-hari Uposatha, dan aktif mengikuti kegiatan hari besar  Waisak, Asadha, Kathina, Maghapuja, dan hari-hari raya agama Buddha lainnya.
e.   Pendekatan dengan dimensi Intelektual yaitu pola pendekatan pembelajaran yang terkait dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman peserta didik tentang  Agama Buddha.

  1. Karakteristik Peserta Didik

Peserta didik adalah manusia dengan segala karmaphalanya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (sandang, pangan dan papan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya).
Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap periode  perubahan yang sangat pesat fisik maupun emosional. Berikut ini disajikan perkembangan yang erat terkaitan dengan pengajaran PAB, yaitu perkembangan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.

1.     Perkembangan Aspek Kognitif
Menurut Piaget (1970), periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan ‘period of formal operation’. Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif.
Implikasinya dalam pengajaran Pendidikan Agama Buddha adalah bahwa belajar akan bermakna kalau input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Pengajaran PAB akan berhasil kalau penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan dan karakteristik peserta didik sehingga motivasi belajar mereka maksimal.
Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu: (1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional), (2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut), (3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama), (4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas), (5) kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus), (6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri), (7) kecerdasan antar pribadi (kemampuan memahami orang lain). Ketujuh macam kecerdasan ini berkembang pesat dan bila dapat dimanfaatkan oleh guru PAB, akan sangat membantu peserta didik untuk menguasai kemampuan pengamalan Agama Buddha.

2.   Perkembangan Aspek Psikomotor
Aspek psikomotor merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru. Perkembangan aspek psikomotor juga melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain:
a.  Tahap kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustrasi yang tinggi.
b.  Tahap asosiatif
Pada tahap ini, seorang peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan  yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotor. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya otomatis/reflek. Pada tahap ini, seorang peserta didik masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Dan karena waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih pendek, gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku.
c.  Tahap autonomi
Pada tahap ini, seorang peserta didik telah mencapai tingkat autonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap autonomi karena peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pemelajar untuk memikirkan tentang bagaimana gerakan-gerakan itu.

3.  Perkembangan Aspek Afektif
Keberhasilan proses pengajaran PAB juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek afektif peserta didik. Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom (Brown, 2000) memberikan definisi tentang ranah afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang implikasinya dalam peserta didik SMP yaitu: (1) sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar; (2) responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka; (3) bisa menilai; (4) mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada; (5) mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai.
Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspon, dan apa yang diyakini dan diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memperoleh perkembangan bathin yang bersih dan prilaku yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Faktor pribadi yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan berbagai materi pemelajaran, yang meliputi:
1.   Self-esteem, yaitu penghargaan yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri.
2.   Inhibition, yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
3.   Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa tegang, frustrasi, khawatir, dsbnya.
4.   Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
5.   Risk-taking, yaitu keberanian mengambil risiko.
6.   Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain. 

II.   PENGERTIAN, PRINSIP, DAN TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN SILABUS

A.     Pengertian Silabus
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam indikator ketercapaian kompetensi, materi pokok, pengalaman belajar, dan penilaian. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab pertanyaan-pertanyaan:

1.      Kompetensi apa yang harus dicapai peserta didik yang dirumuskan dalam standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi pokok;
2.      Bagaimana cara mencapainya, yang dijabarkan dalam pengalaman belajar serta alokasi waktu dan sumber belajar yang diperlukan; dan
3.      Bagaimana mengetahui ketercapaian kompetensi berdasarkan indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.

B.    Pengembang Silabus
Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan.
1.  Guru
Sebagai tenaga professional yang memiliki tangung jawab langsung terhadap kemajuan belajar peserta didik, seorang guru diharapkan mampu mengembangkan silabus sesuai dengan kompentensi mengajarnya secara mandiri. Di sisi lain guru lebih mengenal karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah serta lingkungannya.

2.  Kelompok Guru
Apabila guru kelas atau guru mata pelajaran karena sesuatu hal belum dapat melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak sekolah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok guru kelas atau guru mata pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan dipergunakan oleh sekolah tersebut

3.   Kelompok Kerja Guru (MGMP/PKG)
Sekolah yang belum mampu mengembangkan silabus secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah  lain melalui forum MGMP/PKG untuk bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah-sekolah dalam lingkup MGMP/PKG setempat.

4.      Dinas Pendidikan
Dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para guru berpengalaman di bidangnya masing-masing.

Dalam pengembangan silabus ini sekolah, kelompok kerja guru, atau dinas pendidikan dapat meminta bimbingan teknis dari perguruan tinggi, LPMP, atau unit utama terkait yang ada di Departemen Pendidikan Nasional


C.    Prinsip Pengembangan Silabus

1.      Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertangungjawabkan secara keilmuan.
2.      Relevan
Cakupan, Kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.
3.      Sistematis
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
4.      Konsisten
Ada hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.
5.      Memadai
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapain kompetensi dasar
6.      Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
7.      Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi variasi peserta didik, pendidikan, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat. Sementara itu, materi ajar ditentukan berdasarkan dan atau memperhatikan kultur daerah masing-masing.  Hal ini dimaksudkan agar kehidupan peserta didik tidak tercerabut dari lingkungannya.


8.      Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor)
9.      Desentralistik
Pengembangan silabus ini bersifat desentralistik.  Maksudnya bahwa kewenangan pengembangan silabus bergantung pada daerah masing-masing, atau bahkan sekolah masing-masing. 

D.    Tahap-tahap Pengembangan Silabus
1.      Perencanaan
Tim yang ditugaskaan untuk menyusun silabus terlebih dahulu perlu mengumpulkan informasi dan mempersiapkan kepustakan atau referensi yang sesuai untuk mengembangkan silabus. Pencarian informasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat teknologi dan informasi seperti multi media dan internet.

2.      Pelaksanaan
Dalam melaksanakan penyusunan silabus perlu memahami semua perangkat yang berhubungan dengan penyusunan silabus, seperti Standar Isi yang berhubungan dengan mata pelajaran yang bersangkutan dan Standar Kompetensi Lulusan serta Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan.

3.      Perbaikan
Buram silabus perlu dikaji ulang sebelum digunakan dalam kegiatan pemelajaran. Pengkaji dapat terdiri atas para spesialis kurikulum, ahli mata pelajaran, ahli didaktik-metodik, ahli penilaian, psikolog, guru/instruktur, kepala sekolah, pengawas, staf profesional dinas pendidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan peserta didik itu sendiri.

4.      Pemantapan
Masukan dari pengkajian ulang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki buram awal. Apabila telah memenuhi kriteria dengan cukup baik dapat segera disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan komunitas sekolah lainnya.



5.      Penilaian Silabus
Penilaian pelaksanaan silabus perlu dilakukan secara berkala dengan mengunakaan model-model penilaian kurikulum.


III.                KOMPONEN DAN LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN SILABUS

A.     Komponen silabus
Silabus memuat sekurang-kurangnya komponen-komponen berikut ini :
1.      Identitas Silabus
2.      Standar Kompentensi
3.      Kompetensi Dasar
4.      Materi Pokok
5.      Pengalaman Belajar
6.      Indikator
7.      Alokasi Waktu
8.      Sumber Belajar
9.      Penilaian
Komponen-komponen silabus di atas, selanjutnya dapat disajikan dalam contoh format silabus secara horisontal sebagai berikut.