Panduan Pengembangan Silabus Pendidikan Agama Hindu

I.        PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional  Bab IV Pasal 10 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, Pasal 11 Ayat (1) juga menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah menjadi semakin besar. Lahirnya kedua undang-undang tersebut menandai sistem baru dalam penyelenggaraan pendidikan dari sistem yang cenderung sentralistik menjadi lebih desentralistik.

Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan peserta didik, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi yang ditetapkan dengan Permendiknas N0. 22 Tahun 2006 dan Standar Kompentensi Lulusan yang ditetapkan dengan Kepmendiknas 23 Tahun 2006.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:
  • Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasar­kan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab terhadap pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK ( Pasal 17 Ayat 2)
  • Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20)

Berdasarkan ketentuan di atas, daerah atau sekolah memiliki ruang gerak yang seluas-luasnya untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan variasi-variasi penyelengaraan pendidikan sesuai dengan keadaan, potensi, dan kebutuhan daerah, serta kondisi peserta didik. Untuk keperluan di atas, perlu adanya panduan pengembangan silabus untuk setiap mata pelajaran, agar daerah atau sekolah tidak mengalami kesulitan.

  1. Karakteristik Mata Pelajaran Agama Hindu
Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik yang khas. Demikian juga halnya dengan Pendidikan Agama Hindu (PAH).  Adapun karakteristik PAH adalah sebagai berikut:
1.             PAH merupakan pendidikan dalam usaha menanamkan rasa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, membangkitkan kesadaran bahwa agama merupakan kebutuhan hidup dalam mencapai kebahagiaan dan kepuasan di dunia dan di akhirat, serta membantu memberi motivasi untuk berbuat baik dan menunjang profesi ilmu yang sedang dipelajarinya.
2.             PAH  memuat kajian konprehensif akan peran dan fungsi Agama Hindu dalam kehidupan modern yang pluralistik dan turbulent. Kehidupan untuk masa depan yang disadari dari penghayatan akan kehidupan masa kini dan masa lalu.  Pola pewartaan PAH bertumpu pada pencapaian kedamaian yang diformulasikan dengan pernyataan Moksartam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma. Dasar pijak gerak dalam PAH adalah Satyam (kebenaran), Siwam (kebajikan), Sundaram (kedamaian) dalam membangun keharmonisan tiga pola hubungan yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Kebenaran harus dinyatakan dengan penuh kebajikan agar terbangun kedamaian.
3.             PAH menekankan refleksi Panca Sradha yaitu keimanan akan Brahman/Tuhan, Atman, Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa.  Interaksi dan komunikasi iman yang naratif-eksperiensial antara guru dan para peserta didik-nya dan antara para peserta didik satu sama lain, dengan bertitik tolak dari pengalaman dan pergumulan hidup berimannya dalam masyarakat yang pluralis religi dan berbudaya. Pengalaman dan pergumulan hidup ber-sradha dan ber-bhakti dimulai dengan menyajikan teks, mantram, sloka, cerita, itihasa (Ramayana, Mahabarata), purana, kidung atau nyanyian suci, upacara agama, upakara agama, simbol-simbol agama, gerak tubuh, perjalanan hidup para Rsi, perjalanan hidup tokoh hindu dan praktek-praktek keagamaan  kemudian mendalami maknanya bagi hidup pribadi dan hidup bermasyarakat. Dalam konteks ini PAH sebaiknya “berwajah” Pendidikan Religiositas dan Kontekstual sebagai landasan proses menemukan makna hidup dan kehidupan. PAH menekankan pada proses pengembangan  karakter peserta didik. PAH harus mampu mendorong  peserta didik agar memiliki motivasi, kemandirian, rasa percaya diri, ketekunan, ketabahan, tekad kerja keras, suka pada tantangan, kreatif, energik, dan berinisiatif tinggi serta berlandaskan pada dharma.  
4.             PAH membangun kesadaran akan persoalan bukan saja hidup sesudah mati tetapi juga apa yang harus diperbuat selama hidup di dunia ini. Kesadaran yang dibangun meningkat mulai dari kesadaran (a) hidup untuk mencari makan, (b) hidup untuk mendapatkan rasa aman, (c) hidup untuk diterima oleh masyarakat, (d) hidup untuk mendapatkan status  dan  kehormatan, (e) hidup  untuk  menemukan  makna  hidup, (f) hidup untuk tidak hidup kembali (baca tidak lahir kembali)  sesuai dengan tingkatan kehidupannya mulai dari masa Brahmacarya, Grihasta, Wanaprasta, dan Bhiksuka.
5.             PAH diarahkan untuk membangun kualitas mental pribadi peserta didik agar memiliki visi yang jelas, wawasan dan pengetahuan yang kontekstual, tujuan hidup yang jelas, komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang tinggi, rasa harga diri, rasa kompeten, kemampuan hidup secara harmonis dan kreatif dalam masyarakat yang pluralistik, kepedulian terhadap lingkungan, serta kompetensi teknik sesuai dengan swadharma hidupnya. Kualitas mental tersebut menjadi penentu arah, penghela, motivator dan fasilitator dalam pengembangan  dan pemanfaatan kecakapan teknik.
6.      Tema-tema esensi dalam PAH bersumber pada Weda yaitu Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti sehingga peserta didik memiliki Sradha dan Bhakti kepada Brahman, berakhlak mulia atau berbudi pekerti luhur, memahami jati dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan, tekad kerja keras, mandiri dan bertanggungjawab yang tercermin dalam pola hidup sehari-hari dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar (Tri Hita Karana).
7.      Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu menggunakan pola pendekatan terpadu, demokratis, humanistis, fungsional, dan kontekstual sesuai dengan dinamika perkembangan berbangsa dan bernegara serta tuntutan masyarakat modern yang pluralistik dan turbelent. Pendidikan Agama Hindu agar lebih fungsional dan bermakna bagi peserta didik maka strategi pembelajaran yang digunakan meliputi lima dimensi pendekatan yaitu:
a.   Pendekatan dengan dimensi Konsekuensial yaitu  pola pendekatan pembelajaran yang menekankan pada peranan dan fungsi Agama Hindu sebagai sumber motivator dan sumber inspirasi dalam berperilaku keseharian sesuai dengan swadharma peserta didik sebagai  anak bangsa. Peserta didik dilatih dan dibiasakan mempraktekkan dan merasakan manfaat pengamalan ajaran Agama Hindu dalam kehidupan nyata seperti berperilaku    jujur,  sopan dan santun, tertib, taat waktu, bersih, tekun, sabar, bersemangat, tolong menolong, berdana punia, kebajikan, kedamaian, tanpa kekerasan, kemurahan hati, kemandirian, rasa percaya diri, tekad kerja keras, suka pada tantangan, kreatif, bugar dan energik, berinisiatif tinggi berlandaskan pada Dharma.
b.   Pendekatan dengan dimensi Imperensial yaitu pola pendekatan pembelajaran menyangkut penumbuhan dan pengembangan  intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman religius peserta didik dalam bentuk upaya-upaya menghadirkan Tuhan dalam kesadaran peserta didik di setiap saat dan di setiap tempat. Peserta didik dilatih untuk merasakan Tuhan Maha Ada, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Pencipta. Dengan demikian peserta didik terlatih berbuat jujur, tidak sombong, tidak rendah diri, tidak cemas, dan berkeyakinan Tuhan memberi perlindungan pada dirinya. Di mata peserta didik Tuhan tidak dihadirkan hanya dalam momen-momen eksklusif saja seperti pada saat ada upacara-upacara keagamaan di pura, melainkan terus menerus dalam setiap langkah kehidupan.
c.   Pendekatan dengan dimensi Ideologis yaitu pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat keyakinan peserta didik pada kebenaran Ajaran Agama Hindu. Peserta didik dibangun kesadarannya agar menghayati Panca Sradha yaitu keyakinan terhadap adanya Brahman, Atman, Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa.
d.   Pendekatan dengan dimensi Ritualistik yaitu pola pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan peserta didik dalam menjalankan ritual-ritual Agama Hindu. Peserta didik dilatih untuk menjalankan ritual Puja Tri Sandya setiap hari dan aktif mengikuti kegiatan upacara keagamaan pada setiap Purnama Tilem, Hari Raya Galungan Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, Siwaratri, dan hari piodalan  lainnya.
e.   Pendekatan dengan dimensi Intelektual yaitu pola pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran Agama Hindu berkaitan dengan Sradha, Susila, Yadnya, Kitab Suci, Orang Suci, Tempat Suci, Hari Suci, Kepemimpinan, Alam semesta, Budaya, dan Sejarah Perkembangan Agama Hindu .
Ketujuh karakteristik ini hendaknya  dijadikan titik perhatian bagi para guru Pendidikan Agama Hindu dalam mengembangkan satuan acara pelajaran dan pelaksanaan pengajaran PAH.

C.    Karakteristik Peserta Didik

Peserta didik adalah mahluk ciptaan Tuhan tertinggi dengan segala karmanya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi (sabda, bayu, idep). Mereka memiliki lima lapis yang disebut dengan  Panca Maya Kosa yaitu (1) Anamaya kosa; (2) Pranamaya kosa; (3) Manomaya kosa; (4) Wijnanamaya kosa;  dan (5) Anandamaya kosa.   Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya), dan kebutuhan akan rasa bahagia (anandam).

Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap periode  perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan yang sangat erat kaitannya dengan pembelajaran, yaitu perkembangan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.

1.   Perkembangan Aspek Kognitif

Menurut Piaget (1970), periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan ‘period of formal operation’. Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran PAH peserta didik sudah bisa menggunakan tiga cara untuk belajar yang dikenal dengan Tri Pramana yaitu agama pramana, anumana pramana,dan pratyaksa pramana.
Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu: (1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional), (2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut), (3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama), (4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imajinasi mental tentang realitas), (5) kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus), (6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri), kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain). Sesuai dengan karakteristik keilmuan PAH, ketujuh macam kecerdasan ini akan dapat berkembang pesat bila guru PAH dapat memanfaatkan secara terencana dan terprogram. Pengembangan silabi harus memperhatikan: (1) apa yang akan diajarkan, (2) bagaimana cara mengajarkannya, dan (3) bagaimana cara mengetahui bahwa yang kita ajarkan dapat difahami oleh peserta didik. Pertanyaan pertama berkaitan dengan tujuan dan materi PAH yang akan diajarkan; pertanyaan kedua menyangkut metode mengajar dan alat peraga apa yang akan digunakan dalam pembelajaran PAH, dan pertanyaan ketiga berkaitan dengan cara dan sistim evaluasi yang digunakan terhadap materi yang telah diajarkan.



2.   Perkembangan Aspek Psikomotor

Aspek psikomotor merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru. Perkembangan aspek psikomotor juga melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain:

a. Tahap kognitif

Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

b. Tahap asosiatif

Pada tahap ini, seorang peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan  yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotor. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya otomatis. Pada tahap ini, seorang peserta didik masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Dan karena waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih pendek, gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku.

c. Tahap otonomi

Pada tahap ini, seorang peserta didik telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap autonomi karena peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajar untuk memikirkan tentang gerakannya.

3.  Perkembangan Aspek Afektif

Keberhasilan proses pembelajaran PAH sangat dominan ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek afektif peserta didik. Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom (Brown, 2000) memberikan definisi tentang ranah afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang implikasinya dalam peserta didik SMP lebih kurang sebagai berikut: (1) sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar; (2) responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka, (3) bisa menilai, (4) sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada; (5) sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai. Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspon, dan apa yang diyakini dan diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting.  
Faktor pribadi yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan berbagai materi pembelajaran, yang meliputi:
1.      Self-esteem, yaitu penghargaan yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri.
2.      Inhibition, yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
3.      Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa frustrasi, khawatir, tegang, dsbnya. Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa frustrasi, khawatir, tegang, dsbnya.
4.      Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
5.      Risk-taking, yaitu keberanian mengambil risiko.
6.      Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain. 


II.  PENGERTIAN, PRINSIP, DAN TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN
     SILABUS

A.     Pengertian Silabus

Silabus disusun berdasarkan Standar Isi, yang di dalamnya berisikan Identitas Mata Pelajaran, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), Materi Pokok/Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran,  Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu, dan Sumber Belajar. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
  1. Kompetensi apa saja yang harus dicapai peserta didik sesuai dengan yang dirumuskan oleh  Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar).
  2. Materi Pokok/Pembelajaran apa sajakah yang perlu dibahas dan dipelajari peserta didik untuk mencapai Standar Isi.
  3. Kegiatan Pembelajaran yang bagaimanakah yang seharusnya diskenariokan oleh guru sehingga peserta didik mampu berinteraksi dengan objek belajar.
  4. Indikator apa sajakah yang harus ditentukan untuk mengetahui ketercapaian Standar Isi.
  5. Bagaimanakah cara mengetahui ketercapaian kompetensi berdasarkan Indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.
  6. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai Standar Isi tertentu.
  7. Sumber Belajar apa sajakah yang dapat diberdayakan untuk mencapai Standar Isi tertentu.


B.    Pengembang Silabus

Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, Kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Dinas Pendidikan.

1. Guru

Sebagai tenaga profesional yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap kemajuan belajar peserta didik, seorang guru diharapkan mampu mengembangkan silabus sesuai dengan kompetensi mengajarnya secara mandiri. Di sisi lain guru lebih mengenal karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah serta lingkungannya.

2. Kelompok Guru

Apabila guru kelas atau guru mata pelajaran karena sesuatu hal belum dapat melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak sekolah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok guru kelas atau guru mata pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan dipergunakan oleh sekolah tersebut

3. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)

Sekolah yang belum mampu mengembangkan silabus secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah  lain melalui forum MGMP untuk bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah-sekolah dalam lingkup MGMP setempat.

a.      Dinas Pendidikan

Dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para guru berpengalaman di bidangnya masing-masing.
Dalam pengembangan silabus ini sekolah, kelompok kerja guru, atau dinas pendidikan dapat meminta bimbingan teknis dari perguruan tinggi, LPMP, atau unit utama terkait yang ada di Departemen Pendidikan Nasional


C.    Prinsip Pengembangan Silabus

  1. Ilmiah: Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertangungjawabkan secara keilmuan.

  1. Relevan: Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.

  1. Sistematis: Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.

  1. Konsisten: Ada hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, dan sumber belajar.

  1. Memadai: Cakupan materi pokok/pembelajaran, kegiatan belajar, indikator, sistim penilaian, dan sumber belajar cukup untuk menunjang pencapain kompetensi dasar.

  1. Aktual dan Kontekstual: Cakupan materi pokok/pembelajaran, kegiatan belajar, indikator, sistim penilaian, dan sumber belajar memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.

  1. Fleksibel: Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi variasi peserta didik, pendidikan, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.  Sementara itu, materi ajar ditentukan berdasarkan dan atau memperhatikan kultur daerah masing-masing.  Hal ini dimaksudkan agar kehidupan peserta didik tidak tercerabut dari lingkungannya.

  1. Menyeluruh: Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).

  1. Desentralistik: Pengembangan silabus ini bersifat desentralistik.  Maksudnya bahwa kewenangan pengembangan silabus bergantung pada daerah masing-masing, atau bahkan sekolah masing-masing. 

D.    Tahap-tahap Pengembangan Silabus

1.      Perencanaan: Tim yang ditugaskaan untuk menyusun silabus terlebih dahulu perlu mengumpulkan informasi dan mempersiapkan kepustakan atau referensi yang sesuai untuk mengembangkan silabus. Pencarian informasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat teknologi dan informasi seperti multi media dan internet.

2.      Pelaksanaan:  Dalam melaksanakan penyusunan silabus perlu memahami semua perangkat yang berhubungan dengan penyusunan silabus, seperti Standar Isi yang berhubungan dengan mata pelajaran yang bersangkutan dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

3.      Perbaikan: Buram silabus perlu dikaji ulang sebelum digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Pengkajian dapat melibatkan para spesialis kurikulum, ahli mata pelajaran, ahli didaktik-metodik, ahli penilaian, psikolog, guru/instruktur, kepala sekolah, pengawas, staf profesional dinas pendidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan peserta didik itu sendiri.

4.      Pemantapan: Masukan dari pengkajian ulang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki buram awal. Apabila telah memenuhi kriteria dengan cukup baik dapat segera disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

5.      Penilaian silabus: Penilaian pelaksanaan silabus perlu dilakukan secara berkala dengan mengunakaan model-model penilaian kurikulum.


III.          KOMPONEN DAN LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN SILABUS

A.     Komponen silabus
Silabus memuat sekurang-kurangnya komponen-komponen berikut ini.
a.      Identitas Silabus
b.      Standar Kompentensi
c.      Kompetensi Dasar
d.      Materi Pokok/Pembelajaran
e.      Kegiatan Pembelajaran
f.        Indikator
g.      Penilaian
h.      Alokasi Waktu
i.        Sumber Belajar

Komponen-komponen silabus di atas, selanjutnya dapat disajikan dalam contoh format silabus secara horisontal sebagai berikut.